Sekolah dan Intimidasi

Sekolah dan Intimidasi




Rasanya tak pernah kutemukan kebahagian, kesenagan dan keinginan untuk belajar dikala itu. yang ada aku hanya ingin "pergi". pergi dari mereka yang mengaku teman namun seringkali memusuhi. pergi dari mereka yang mengaku guru namun seringkali mencaci. ah, rasanya waktu itu aku ingin pulang saja.

Sebenarnya sejak ibuk ingin memasukan aku ke SMP,  aku selalu menolak, bukan tanpa alasan, sekolah bagiku hanya untuk mereka, yang orang tuanya pernah sekolah. sedangkan ibuk dan bapaku lulusan sekolah dasar. jadi aku pikir tamat SD pun sudah cukup. ibuk dengan tekadnya yang kuat memaksa aku untuk sekolah, bahkan anak - anaknya harus sampai sarjana.

Rupanya sekolah waktu itu bukan tempat yang ramah bagi anak seperti aku, seringkali aku mendapatkan intimidasi baik secara fisik maupun mental. sampai suatu ketika aku tidak ingin lagi menginjakan kaki di sekolah.

Hampir setiap pagi aku berangkat sekolah dengan rasa yang kosong, memutar otak supaya hari itu tak berangkat. maka kala itu kutemukan rutinitas yang baru yaitu "Mancing".

Tiga hari dalam seminggu ku habiskan memancing di sungai di jam sekolah, rutinitas yang sangat menyenangkan, menginngat di sekolahpun aku hanya mendapatkan tekanan yang bertubi -  tubi dari sekeliling. lebih baik aku menyendiri melihat laju air sungai yang tenang.

Barangkali memancing telah menjadi mata pelajaran favoritku, hampir satu semester mata pelajaran ini terus ku ikuti tanpa terkecuali, sampai suatu ketika ada seorang anak yang membocorkan rutinitasku ini.

Hari rabu yang kelabu, seakan langitpun bersedih. karena hari itu aku tau mata pelajaran favoritku akan segera hilang. dugaanku tak meleset, di jam istirahat aku di panggil BP untuk menjelaskan hal ihwal memancing.

Aku hanya memiliki satu pilihan, yaitu diam. mengingat aku adalah seorang anak yang tak pandai berbicara. bertemu orangpun aku malu dan rasanya tak karuan. hanya tertunduk diam, semuanya menegang saat beberapa guru menghakimiku.

"Ibuk ingin kamu sekolah" ibuk berkata sambil memberiku makan. lagi aku tak pernah ingin berbicara, diampun sudah cukup. karena semuanya akan berlalu begitu saja.

Kampungku adalah kampung yang indah, mirip dengan konoha gakure dalam serial naruto. rumah warga tersusun dengan rapi menjajar ke atas bukit. di malam hari pemandangan lampu kota jelas terlihat indah seperti bintang. setiap malam sepulang ngaji aku selalu menyempatkan diri melihat lampu kota yang bercahaya dari kejauhan itu, sambil melamun dan ber imajinasi memikirkan tentang kehidupan kampungku yang begitu jelas berbeda dengan kehidupan mereka dikota.

Malam itu ada yang berbeda dengan malam - malam biasanya, aku terus mengingat perkataan wakil kepala sekolah yang menyebut - nyebut bapaku sebagai petani.

Tidak ada yang salah dengan bapaku, aku pikir menjadi seorang petanipun keluarga kami tak pernah kelaparan dan menyusahkan orang lain. namun malam itu aku memutuskan untuk mendengarkan ibuk untuk menjadi sarjana.

No comments